Istri Minta Cerai Gara-gara 5 Tahun Tak Pernah Dicium Suami Karena Banyak Jerawat di Wajahnya


JERAWAT bukan hanya menggangu kecantikan. Tapi gara-gara jerawat,  romantika kehidupan rumah tangga bisa jadi gawat. Gara-gara wajah Karin, 30, penuh jerawat, dia tak pernah dicium suaminya, Donjuan, 34.

Merasa sakit hati dengan perilaku suaminya yang tak pernah mencium pipinya, Karin akhirnya mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama (PA), Klas 1A Sura­ baya, Jl Ketintang Madya, awal Mei lalu.

Kamis (23/6), sidang perta­ manya digelar di ruang sidang cerai I PA. “Lima tahun dia tidak pernah mencium aku. Katanya jijik kalau liat pipiku yang bertabur jerawat ini,” kata Karin di sela­sela sidang gugatan cerainya.

Bersama kuasa hukumnya, Karin tampak begitu galau. Berkali­kali dia melihat ke pintu PA. Sebenarnya, Karin adalah perempuan manis.

Meski kulitnya hitam, namun matanya bulat dan bibirnya tipis. Sayangnya, kecantikan itu sirna dengan jerawat. Hampir seluruh wajah mulai pipi, dagu, dahi hingga lehernya pun banyak jerawatnya.

Kondisi jerawatnya tergolong parah. Beberapa jerawat ada yang mengelupas dan bernanah.

Karin sendiri heran dengan jerawat di wajahnya yang mulai bermunculan sejak SMA. Padahal, Karin mengaku sudah berkali­kali ke dokter kulit dan salon kecantikan.

Ironisnya, makin dirawat, maka kulit makin tipis dan jerawatnya makin merajalela. “Mulanya dulu salah bedak, sekarang jadi kayak gini,” kata Karin mengusap pipinya.

Beberapa dokter menyatakan kalau jerawat itu karena penyakit kulit. “Tidak tahu namanya apa. Sudah puluhan juta yang saya keluarkan gara­gara jerawat ini,” kata Dia.

Wanita asal Menanggal itu sangat kecewa dengan sikap suaminya yang selalu menolak untuk mencium pipinya. “Kalau dia cinta aku kan seharusnya menerima apa adanya. Eh ini malah tidak mau,” kata dia.

Karin berkali­kali protes dan meminta Donjuan mencium pipinya. Saat itu pula, Donjuan marah dan keluar dari kamar dan tidak mau tidur dengan dia.

Satu jam kemudian, sidang gugatan pertama selesai digelar, Donjuan pun keluar dari ruang sidang PA dengan

tenang. “Istri itu malas. Berkali­kali saya suruh berobat, tapi tidak pernah rutin,” kata Donjuan.

Awalnya, Donjuan menutupi alasan dia tak pernah mencium istrinya. Namun, lama kelamaan, Donjuan tak sengaja mengutarakan kalau jijik bila melihat jerawat istrinya.

Makanya, setiap kali berhubungan badan, Donjuan mengaku selalu menutup matanya rapat­rapat supaya tidak bisa melihat wajah Karin yang berjerawat.

“Orang berjerawat itu tanda orang malas dan tidak bersihan. Di wajah saja sudah berjerawat apalagi di bagian lainnya,” tandas Donjuan yang terlihat tak begitu berat digugat cerai Karin. (umi hany/no)

Tanpa Kesedihan, Pria Ini berkata: Aku Bersyukur Ibuku Meninggal...


Mari Sebarkan - Dia berjalan kearah kerumunan tempat prosesi ibunya dikuburkan dengan langkah tegap penuh kepercayaan diri tanpa sedikitpun bekas air mata di pipinya.

Orang-orang melihatnya, menyalaminya, dan mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya wanita tercinta yang telah membesarkannya. Hampir tak ada sedikitpun rasa kesedihan di wajahnya.
Dan senyumnya yang ramah itu menimbulkan tanda tanya di benak para pelayat, termasuk saudari satu-satunya.
Dia berdiri di tepi kuburan menatap liang lahat seolah-olah ingin mengukur luasnya. Lalu masuk kedalam, membantu pemakaman ibunya meski tanah basah mengotori jas yang dikenakannya.
Sesekali dia tersenyum menatap wajah ibunya yang kaku dan tak bisa lagi membuka matanya. Dan sekali lagi, tidak adanya kesedihan diwajahnya menimbulkan pertanyaan, ‘Ada apa antara dia dan ibunya?’.
Orang-orang telah pergi meninggalkannya yang masih berdiri di tepi kuburan sang ibu. Saudarinya pun telah dimintanya untuk pergi duluan mengurus suami dan anak-anaknya.
Sementara dia tetap berdiri disana, sendirian, namun sekali lagi, tanpa sedikitpun kesedihan. Sesekali dia tersenyum seakan ibu melihatnya dari dalam.
“Boleh saya bertanya, nak?” Sapaan pak ustadz dari belakang mengagetkannya.
Dia menoleh kebelakang dan mengangguk kecil sambil tersenyum.
Pak ustadz lalu berdiri disebelah kanannya, “Saya hanya ingin meluruskan rasa penasaran warga padamu, ada apa antara kamu dan ibumu?”
“Maksudnya pak?”
“Yaaah, kami tidak melihat sedikitpun rasa sedih di wajahmu.”
Sekali lagi dia tersenyum dan menatap pusara sang ibu, “Ayahku meninggal saat aku masih remaja, dan dia ayah yang sangat baik meski bekerja pas-pasan. Dia melindungi kami dari apapun yang merusak lahir dan batin kami. Tapi aku adalah anak pembangkang.”
“Di hari terakhir ayahku, aku bertengkar hebat dengannya dan bahkan meyumpahinya hanya karena dia tak membelikan aku handphone yang kuinginkan. Aku takkan lupa saat ayahku selesai dikuburkan, pak ustadz.
Ibuku menangis setiap harinya, tubuhnya melemah dan mengurus. Namun dia tak berhenti berkeliling menjajakan bakwan keseluruh kampung meski beberapa bakwan yang terjual itu terasa asin bercampur dengan air matanya.”
“Aku melihatnya setiap saat pak, dan aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku yang telah membawa kekecewaan di wajah ayahku saat dia meninggal. Sejak itu, aku meyakinkan diriku bahwa suatu hari nanti ibuku akan mengalami hal yang sama. Dia akan meninggal, dia akan meninggal, dan dia akan meninggal. Dan itu hanya masalah waktu.”
“Pikiran itu terus menghantuiku dan memaksaku harus melakukan sesuatu. Aku tak bisa lagi melakukan kesalahan yang sama seperti pada ayahku. Aku mengubah semua tentang hidupku, baik duniaku maupun agamaku, karena setiap harinya aku berpikir mungkin besok adalah hari terakhir ibuku. Hingga aku berada di posisi seperti ini, pak ustadz.”
Aku bersyukur, ibuku meninggal ketika aku tidak lagi membebani hidupnya.
Aku bersyukur, ibuku meninggal setelah aku memberinya cucu yang sehat dan berbakti.
Aku bersyukur, ibuku meninggal saat masa tuanya hanya tinggal memikirkan ibadah.
Aku bersyukur, ibuku meninggal dengan menepuk dada setiap kali dia bercerita tentangku dan saudariku.
Aku bersyukur, ibuku meninggal di rumahnya dan bukan di kontrakannya.
Aku bersyukur, ibuku meninggal sekarang ini, pk ustadz.
Aku bersyukur, ibuku meninggal penuh kebahagiaan karena aku dan saudariku selalu menghubunginya setiap hari menanyakan kabarnya dan menceritakan kabar kami.”
Dia mulai meneteskan air mata, dan mulai mengalir deras, meski bibirnya terus menerus mengukirkan senyum yang menyejukkan.
“Dan aku bersyukur, pak ustadz. Aku bersyukur, ibuku meninggal tanpa membawa kekecewaan kealam sana dan yakin bahwa aku dan saudariku akan terus memberinya kebanggaan yang akan dikatakannya pada Tuhan dan pada ayahku. Penyesalanku sekarang, aku harus bersabar untuk melihat senyumnya dan mendengar tawanya lagi.”
Sumber: Islampos

Kategori

Kategori